BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 18 Agustus 2009

Etnis Tionghoa Indonesia


Belakangan ini, Korean waves memang sedang mewabah di Negara – Negara asia, tidak terkecuali Indonesia. Tidak dipungkiri bahwasanya sebelum K-pop kini dikenal di Indonesia, C-pop lebih dulu dikenal, boleh dibilang, C-pop lah yang membuka jalan bagi K-pop sekarang ini. Jika membandingkan antara hebohnya F4 Taiwan dengan F4 Korea, ternyata F4 Taiwan memang lebih besar ‘kehebohannya’ di Indonesia. Itu tentu tidak mengherankan, karena pada esensinya warga keturunan Tionghoa memang lebih banyak di Indonesia. Warga Keturunan Tionghoa (selanjutnya disebut Etnis Tionghoa) telah mendapat perlakuan diskriminatif lebih dari 30 tahun di negri ini. Memang masalah ini sangatlah sensitif untuk dibahas. Bahkan, ada yang menyebutkan jika yang menuliskan isu tentang ini diluar lingkaran etnis Tionghoa, ia bisa dicap sebagai orang yang bersikap diskriminatif atau meragukan nasionalisme etnis Tionghoa di negeri ini. Itu hanyalah pendapat, relatif dari mana kita memandang dan menyerap permasalahan itu. Alangkah baiknya apabila permasalahan ini ditanggapi dengan bijaksana.

Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau dokrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Itu memiliki arti yang sangat buruk.

Saya membaca di salah satu tabloid, GATRA. Disana terdapat resensi sebuah buku yang berjudul Merangkul Cina. Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang digarap setidaknya oleh 10 sejarah hubungan antara kedua Negara, hubungan pasca orde baru, hubungan perdagangan, bagaiana Cina menebar pesona, bidang militer, perminyakan, sampai hubungan Jakarta-Beijing dalam konteks ASEAN. Menurut buku tersebut yang paling menarik dari topik – topik itu adalah tulisan yang disusun Tuti E. Muas (“ Hubungan Indonesia – Cina: Secara Historis Dinamis?”) dan Xu Liping (“ Perkembangan Hubungan Tiongkok-Indonesia Sepuluh Tahun Terakhir”). Sejujurnya, saya belum membaca buku tersebut. *Kalau ada yang punya, pinjam ya???

Sejujurnya saya tertarik membahas soal ini karena banyaknya masyarakat etnis Tionghoa disekitar saya dan juga karena tertarik dengan kebudayaannya (pengaruh film kungfu). Pada masa orde baru, masyarakat etnis Tionghoa mendapat berbagai macam tindakan yang mengarah pada tindakan penganiyayaan, mulai dari yang ringan seperti ejekkan hingga yang sangat tidak manusiawi seperti pemerkosaan terhadap wanita etnis Tionghoa. Ini sangat memilukan. Apalah artinya “Bhineka Tunggal Ika” kalau begitu?.

Pernah saya ditanya oleh teman saya yang berkewarganegaraan China mengenai masalah ini. Sebelumnya, kami membahas mengenai sistem pemerintahan negaranya (China). Ia mengemukakan ketidakpuasannya terhadap sistem pemerintahan Komunis China dan saya juga sempat mengemukakan pendapat saya mengenai sistem pemerintahan RI. Setelah itu, ia mengatakan “ Indonesia dulu pernah membantai warga China” kemudian ia bertanya dengan penuh mata yang sangat ingin tahu “ Kenapa?”. Jujur, seketika itu saya sangat sedih dan malu selain merasa bingung. Sangat sulit bagi saya menjelaskan hal itu padanya.

Entah mengapa itu terjadi. Bisa jadi, hal tersebut dipicu oleh sepak terjang duta besar pertama RRC, Wang Renshu pada tahun 1950. Setelah ia tiba di Jakarta pada saat itu, ia segera mengontak organisasi – organisasi etnik Cina Indonesia. Yang kemudian etnis Tionghoa menjadi bulan – bulanan kecurigaan yang berbau rasialis, baik dari pemerintahan maupun golongan “pribumi”, bahwa kesetiaan mereka tidak kepada negara Republik Indonesia. Juga, karena adanya permasalahan Komunis di Indonesia yangmana berasal dari Cina. Sejak saat itu Jakarta dan Beijing menandatangani perjanjian dwi kewarganegaraan pada 1955. Perjanjian ini pada dasarnya memberikan peluang kepada warga negara keturunan Tionghoa untuk memilih menjadi warga negara Indonesia atau tetap mempertahankan kewarganegaraan Cina. Namun, itu tidak membuat prasangka terhadap etnis Tionghoa hilang. Sejak saat itu selama lebih dari 30 tahun, golongan etnis Tionghoa mendapat perlakuan Diskriminatif. Hal tersebut seharusnya tidaklah terjadi. Etnis Tionghoa sudah menjadi satu kesatuan dengan Indonesia sejak dulu. Saya menemukan artikel di internet (lupa alamatnya), ternyata pasukan Pangeran Dipenogoro yang melawan Belanda sebagian besar adalah warga etnis Tionghoa. Lalu, pedagang dari Cina yang bernama Laksamana Cheng Ho juga menyebarkan agama Islam di Indonesia yang dulu mayoritas beragama Hindu. Bagaimana dengan saat ini?

Teman saya pernah berkata pada saya kalau ‘orang sipit’ begitu ia menyebutnya, angkuh dan segala macamnya. Begitukah? Menurut saya tidak, karena saya juga bergaul dengan etnis Tionghoa, dan mereka tidak sombong dan baik walau ada juga yang begitu. Kalau mengenai sikap seseorang, itu permasalahan pribadi bukan ras. Ya, masih ada sedikit teman atau orang yang saya kenal yang ‘membedakan’ etnis ini dengan sedikit negatif. Lalu, apakah ini berarti masih ada mental sisa orde baru? Dan bagaimana dengan penerapan Bhineka Tunggal Ika yang kita miliki?.

Persembahan untuk Negriku, Selamat Ulang Tahun Indonesiaku.... !


Bismillahirahmanirrahiim.

Sebelumnya, saya ingin mengucapkan Selamat HUT Republik Indonesia yang ke-64. Semoga Indonesia tetap Jaya dan terus menjadi lebih baik. MERDEKA!!!!.

Pada tanggal 17 Agustus tahun 2009 ini Indonesia genap berumur 64 tahun. Bukan merupakan perjalanan sejarah yang singkat dan juga bukan tanpa makna ataupun tanpa perjuangan. Semangat ‘45 para pejuang dahulu untuk memberikan hadiah terindah berupa Kemerdekaan bagi Indonesia masih mengalir di darah para pemuda Indonesia. Buktinya, Berbagai cara dilakukan oleh penerus – penerus bangsa ini untuk memberikan sedikit hadiah bagi bangsa Indonesia tercinta ini pada HUT ke – 64.

Di Manado, Sulawesi Utara, telah dilaksanakan upacara pengibaran bendera merah putih di bawah laut untuk pertama kalinya. Dihadiri oleh 2818 peserta termasuk TNI dan wartawan pada kedalaman 9-15 m di bawah permukaan laut. Ini merupakan pemecahan rekor dunia atas nama Indonesia. Inspektur upacaranya adalah Laksdya Moekhlas Sidik. Di dalam pencatatan rekor itu sendiri, upacara di bawah laut ini memiliki sebuah pesan: Apabila kita bersatu, kita bisa dan tidak terkalahkan.

Selain di Manado, ternyata di Enrekang, Sulawesi Selatan juga di lakukan pengibaran bendera Merah putih dengan cara yang unik, yaitu di Tebing Mandu, lebih tepatnya di ketinggian 133 m dari permukaan tanah. Sang Merah-Putih amat gagah berkibar disana.

Berita singkat tersebut membuktikan bahwa para pemuda masih memiliki rasa Nasionalisme yang tinggi. Sejujurnya, saya masih merasa merinding saat saya menulis ini karena melihat bendera merah putih dikibarkan dan mendengar lagu – lagu kebangsaan dikumandangkan. Saya yakin teman – teman juga merasakan hal yang sama. Terharu, bangga dan rasa syukur yang amat sangat juga perasaan – perasaan lain yang sulit diungkapkan oleh kata – kata saat Merah Putih berkibar diiringi lagu kebangsaan Indonesia. Dada ini rasanya berdetak lebih kencang mendorong air mata untuk menetes haru.

Kemarin (16 agustus 2009) atlet bulutangkis Indonesia berhasil merebut posisi ke-3 untuk tunggal putra (Taufik Hidayat dan .....) dan possi ke-2 untuk ganda campuran (lilyana Natsir dan....). Meskipun tidak berada di peringkat petama, Indonesia masih mempunyai tempat di mata dunia. Bendera Merah putih tetap mempunyai tempat untuk berkibar di kancah dunia.

Pada Juni lalu, Mahasiswa Universitas Komputer Indonesia, Bandung, memperoleh medali emas dalam kontes Robogames di Fort Mason, San Fransisco, Amerika Serikat yang bertajuk: The 2009 International Robogames. Meraih nilai sempurna mengalahkan mahasiswa dari perguruan tinggi top dunia. Medali emas itu diraih oleh Rudi Hatono dengan robot DU – 114-nya. DU – 114 singkatan dari Dipati Ukur nomor 114 alamat kampus Unikom. Du – 114 berhasil menyisihkan belasan rbot untuk kategori Open ire Fighing Robot Contest yang merupakan kategori yang tersulit. Pasalnya, pada kategori ini robot harus bersifat “ autonomous”, yakni bergerak dan mengambil keputusan sendiri tanpa intervensi manusia atau tanpa remote control. Robot Du – 114 ini bertugas untuk mematikan lilin yang diumpamakan sebagai api kebakaran oleh panitia. Hebatnya, DU – 114 ini berhasil menyelesaikan misinya dalam 12 detik dari 5 menit waktu yang diberikan panitia. “ Ada kebanggaan tersendiri. Alau kecil, kami bisa menyumbang sesuatu yang membanggakan Indonesia” begitulah kira – kira yang diucapkan oleh kak Rudi ketika mengibarkan bendera Merah-Putih di ajang internasional. Ckckckck two tumbs up untuk Kak Rudi Hartono.

3 medali dipersembahkan oleh para siswa Indonesia dalam Olimpiade Biologi ke-20 di Tsukaba, Jepang. Para siswa itu adalah Anugrah Erlaut siswa kelas XII SMU Kharisma Bangsa, Banten yang meraih emas, Irhan Haris siswa kelas X SMUN 1 Pringsewu yang meraih perak dan Elbert Wijaya, siswa kelas XII SMUK 1 Penabur, Jakarta yang meraih perunggu.

Semua itu hanyalah sebagian kecil prestasi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Masih banyak lagi prestasi membangakan dan akan terus bertambah banyak. Mungkin, itu hanya informasi singkat, namun diharapkan dapat memotivasi kita untuk turut memberikan secercik prestasi yang kita punya untuk Indonesia. Untuk memberikan aura positif pada pikiran kita bahwa Indonesia mampu, Indonesia memang “punya” “sesuatu” yang bisa diperlihatkan. Bersama – sama mewujdkan cita – cita bangsa.