Belakangan ini, Korean waves memang sedang mewabah di Negara – Negara asia, tidak terkecuali Indonesia. Tidak dipungkiri bahwasanya sebelum K-pop kini dikenal di Indonesia, C-pop lebih dulu dikenal, boleh dibilang, C-pop lah yang membuka jalan bagi K-pop sekarang ini. Jika membandingkan antara hebohnya F4 Taiwan dengan F4 Korea, ternyata F4 Taiwan memang lebih besar ‘kehebohannya’ di Indonesia. Itu tentu tidak mengherankan, karena pada esensinya warga keturunan Tionghoa memang lebih banyak di Indonesia. Warga Keturunan Tionghoa (selanjutnya disebut Etnis Tionghoa) telah mendapat perlakuan diskriminatif lebih dari 30 tahun di negri ini. Memang masalah ini sangatlah sensitif untuk dibahas. Bahkan, ada yang menyebutkan jika yang menuliskan isu tentang ini diluar lingkaran etnis Tionghoa, ia bisa dicap sebagai orang yang bersikap diskriminatif atau meragukan nasionalisme etnis Tionghoa di negeri ini. Itu hanyalah pendapat, relatif dari mana kita memandang dan menyerap permasalahan itu. Alangkah baiknya apabila permasalahan ini ditanggapi dengan bijaksana.
Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau dokrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Itu memiliki arti yang sangat buruk.
Saya membaca di salah satu tabloid, GATRA. Disana terdapat resensi sebuah buku yang berjudul Merangkul Cina. Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang digarap setidaknya oleh 10 sejarah hubungan antara kedua Negara, hubungan pasca orde baru, hubungan perdagangan, bagaiana Cina menebar pesona, bidang militer, perminyakan, sampai hubungan Jakarta-Beijing dalam konteks ASEAN. Menurut buku tersebut yang paling menarik dari topik – topik itu adalah tulisan yang disusun Tuti E. Muas (“ Hubungan Indonesia – Cina: Secara Historis Dinamis?”) dan Xu Liping (“ Perkembangan Hubungan Tiongkok-Indonesia Sepuluh Tahun Terakhir”). Sejujurnya, saya belum membaca buku tersebut. *Kalau ada yang punya, pinjam ya???
Sejujurnya saya tertarik membahas soal ini karena banyaknya masyarakat etnis Tionghoa disekitar saya dan juga karena tertarik dengan kebudayaannya (pengaruh film kungfu). Pada masa orde baru, masyarakat etnis Tionghoa mendapat berbagai macam tindakan yang mengarah pada tindakan penganiyayaan, mulai dari yang ringan seperti ejekkan hingga yang sangat tidak manusiawi seperti pemerkosaan terhadap wanita etnis Tionghoa. Ini sangat memilukan. Apalah artinya “Bhineka Tunggal Ika” kalau begitu?.
Pernah saya ditanya oleh teman saya yang berkewarganegaraan China mengenai masalah ini. Sebelumnya, kami membahas mengenai sistem pemerintahan negaranya (China). Ia mengemukakan ketidakpuasannya terhadap sistem pemerintahan Komunis China dan saya juga sempat mengemukakan pendapat saya mengenai sistem pemerintahan RI. Setelah itu, ia mengatakan “ Indonesia dulu pernah membantai warga China” kemudian ia bertanya dengan penuh mata yang sangat ingin tahu “ Kenapa?”. Jujur, seketika itu saya sangat sedih dan malu selain merasa bingung. Sangat sulit bagi saya menjelaskan hal itu padanya.
Entah mengapa itu terjadi. Bisa jadi, hal tersebut dipicu oleh sepak terjang duta besar pertama RRC, Wang Renshu pada tahun 1950. Setelah ia tiba di Jakarta pada saat itu, ia segera mengontak organisasi – organisasi etnik Cina Indonesia. Yang kemudian etnis Tionghoa menjadi bulan – bulanan kecurigaan yang berbau rasialis, baik dari pemerintahan maupun golongan “pribumi”, bahwa kesetiaan mereka tidak kepada negara Republik Indonesia. Juga, karena adanya permasalahan Komunis di Indonesia yangmana berasal dari Cina. Sejak saat itu Jakarta dan Beijing menandatangani perjanjian dwi kewarganegaraan pada 1955. Perjanjian ini pada dasarnya memberikan peluang kepada warga negara keturunan Tionghoa untuk memilih menjadi warga negara Indonesia atau tetap mempertahankan kewarganegaraan Cina. Namun, itu tidak membuat prasangka terhadap etnis Tionghoa hilang. Sejak saat itu selama lebih dari 30 tahun, golongan etnis Tionghoa mendapat perlakuan Diskriminatif. Hal tersebut seharusnya tidaklah terjadi. Etnis Tionghoa sudah menjadi satu kesatuan dengan Indonesia sejak dulu. Saya menemukan artikel di internet (lupa alamatnya), ternyata pasukan Pangeran Dipenogoro yang melawan Belanda sebagian besar adalah warga etnis Tionghoa. Lalu, pedagang dari Cina yang bernama Laksamana Cheng Ho juga menyebarkan agama Islam di Indonesia yang dulu mayoritas beragama Hindu. Bagaimana dengan saat ini?
Teman saya pernah berkata pada saya kalau ‘orang sipit’ begitu ia menyebutnya, angkuh dan segala macamnya. Begitukah? Menurut saya tidak, karena saya juga bergaul dengan etnis Tionghoa, dan mereka tidak sombong dan baik walau ada juga yang begitu. Kalau mengenai sikap seseorang, itu permasalahan pribadi bukan ras. Ya, masih ada sedikit teman atau orang yang saya kenal yang ‘membedakan’ etnis ini dengan sedikit negatif. Lalu, apakah ini berarti masih ada mental sisa orde baru? Dan bagaimana dengan penerapan Bhineka Tunggal Ika yang kita miliki?.